Rabu, 25 April 2018

Let's Go Nyadran 1


Memasuki bulan ruwah dalam kalender Jawa tahun ini, ada satu hal yang membuat saya sedih sebetulnya, yaitu nggak bisa ikut nyadran. What is nyadran?

Nyadran dalam kebiasaan masyarakat Jawa adalah tradisi berziarah ke makam orang tua dan leluhur yang telah meninggal, yang dilakukan selama bulan ruwah/ sebelum ramadhan. Sebetulnya simple saja sih, cuma sekedar berziarah, kemudian berdoa untuk leluhur (eyang, buyut, canggah dst), tapi bagi yang memiliki hubungan dengan keraton, nyadran menjadi tidak terlalu simple mengingat banyaknya leluhur yang harus diziarahi dan didoakan, dan lagi banyak makam yang terpisah di kota-kota yang berbeda, sehingga membutuhkan waktu yang betul-betul longgar untuk melakukannya, hati juga harus betul-betul longgar, karena nyadran bukan sekedar kegiatan fisik, melainkan juga kegiatan spiritual. 

Saya akan mencoba bercerita sedikit mengenai asal-usul nyadran.

Upacara Shraaddha di tepi Sungai Gangga, India
Nyadran berasal dari Bahasa Sansekerta 'Shraaddha' yang berarti menunjukan bakti, sebuah ritual Hindu kuno. Umat Hindu di India maupun di Jawa Kuno melakukan upacara Shraaddha di bulan Shraaddha atau Badra (Agustus-September) menurut kalender Hindu. Upacara ini dilakukan untuk menunjukan tanda bakti kepada orang tua atau leluhur yang telah meninggal. Upacara Shraaddha biasanya dilakukan di kuil-kuil di tepi Sungai Gangga & Yamuna dengan disertai pemberian sedekah untuk para Brahmana dan orang-orang miskin.

Di Indonesia sendiri upacara Shraaddha di masa Jawa Kuno biasa dilakukan oleh keluarga raja di candi-candi dengan membuat makanan & persembahan untuk leluhur berwujud puspasharira yaitu patung yang terbuat dari bunga-bunga. Upacara ini dilakukan di candi karena jenasah leluhur pada masa itu dikremasi dan abunya ditempatkan di candi-candi. Ketika agama Islam masuk ke pulau Jawa, upacara shraaddha tidak betul-betul dilarang oleh para wali, melainkan diformat ulang dan diisi muatan islami di dalamnya. Menurut para wali melanjutkan tradisi nyadran tidak serta merta menjadikan seorang muslim menjadi Hindu (auto-murtad) karena upacara nyadran dalam Islam dianggap masih sesuai dengan perintah Rasulullah yang memerintahkan umatnya untuk berziarah kubur agar dapat mengingat kematian, meskipun orang-orang Jahiliyah  sebelum datangnya Islam juga biasa melakukannya, bahkan terbiasa tawaf, puasa dan kurban.
Upacara Atmawedana (Mamukur) oleh umat Hindu Bali

Umat Hindu Bali yang masih melanjutkan tradisi Majapahit, menyelenggarakan upacara Shraaddha ini dengan sebutan upacara Atmawedana atau Mamukur. Upacara ini ditujukan untuk mensucikan atma atau jiwa mereka yang telah meninggal. Sementara umat Islam di Jawa, melakukan upacara nyadran ketika memasuki bulan Ruwah. Kata 'ruwah' itu sendiri diyakini berasal dari kata arab 'arwahu' yang berarti roh atau jiwa. Karena itulah kadang nyadran ini disebut ruwahan atau barikan yang berarti memohon berkah.

Nyadran, Banguntapan - Yogyakarta
Meskipun tradisi nyadran sudah semakin luntur, akan tetapi sebagian masyarakat pedesaan Jawa masih melestarikan tradisi ini sebagai wujud bakti kepada orang tua yang telah meninggal. Upacara nyadran di pedesaan Jawa diawali dengan berkumpulnya seluruh keluarga di desa tersebut dengan membawa tumpeng beserta sesajen. Tempat berkumpul biasanya adalah lapangan atau jalanan dekat makam desa. Setelah didoakan secara islami oleh modin atau sesepuh setempat, tumpeng yang telah didoakan tersebut dimakan bersama-sama. Setelah itu acara diakhiri dengan membersihkan makam dan menaburkan bunga.

Di sebagian masyarakat Jawa yang lain, tradisi ruwahan hanyalah membersihkan dan berziarah di makam saja tanpa ada acara makan bersama.

Continued to Let's Go Nyadran 2

2 komentar:

  1. Prediksi togel hari ini https://angkamistik.net/prediksi-togel-mbah-jambrong-sgp-12-mei-2019-akurat/

    BalasHapus